Novita mendapati Diztha sedang baru saja keluar dari dalam kamar Valent. Sangat mengejutkan. Novita tak langsung meninggalkan keadaan itu begitu saja. Ia memerhatikan Diztha dari atas sampai bawah dengan tatapan baik-baik saja, tak ada kecurigaan atau tatapan tidak mengenakkan di sana. Diztha, yang saat itu berdiri mematung di pintu masuk kamar Valent, hanya bengong. Valent, yang baru saja muncul dari dalam langsung tak percaya melihat Novita ada di depan kamarnya.
“Nov...” panggilnya tiba-tiba. Ia merasakan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Novita menunduk. Sementara itu, Diztha hanya menggigit bibir ranumnya.
Valent mendekati Novita berdiri. Saat Valent sudah di depannya, mata Novita berkaca-kaca.
Dengan perasaan yang dikuat-kuatkan ia berkata, “Undangan udah naik cetak, gedung udah aku DP, dan baju pengantin udah tinggal fitting...”
Valent menyentuh tangan Novita, namun yang disentuh menghindar.
“Aku bisa jelasin... tolong, jangan nyangka yang macem-macem dulu...”
Novita berusaha mengusap air mata yang terus menetes itu.
“Nov, pliisss...”
Novita menarik napas panjang. Sedangkan Diztha, sekarang makin menunduk dan tak tahu harus berkata apa. Ia masih berdiri mematung, menyaksikan diam-diam drama kedua sejoli itu.
“Aku ngehargain kamu banget, Val. Aku bukannya nggak patuh sama kamu hari ini aku nggak boleh dateng ke rumah kamu, aku cuman pengin bikin surprised, aku bikinin kue kesukaan kamu hari ini, aku pikir, aku dateng nekat ke rumah bisa bikin kejutan, tapi ternyata kamu yang bikin kejutan buat aku,” suara Novita sangat melemah.
Novita terisak lagi.
“Aku...” Valent tak mampu berkata-kata. Lidahnya terasa kelu melihat Novita bercucuran air mata seperti itu.
Diztha menengahi mereka. Ia berjalan mendekati mereka.
“Novita, gue sama Valent nggak ngapa-ngapain, lo nggak usah takut. Gue cuman berkunjung doank ke rumahnya, dan kebetulan lo liat gue lagi berkunjung ke kamarnya. Percaya deh sama gue! Tolong... sebentar lagi kalian merit, nggak banget kalo gara-gara ini kalian ribut sebelum merit...” kata Diztha santai.
Valent melirik tajam ke arah Diztha. Diztha merasa ada kata-katanya yang salah padahal menurutnya bisa membuat Novita semakin lebih baik.
Valent membalikkan tubuhnya. Ia mendesah kesal.
“Aaaaarrggghhh!!!!” teriaknya kencang. Novita malah semakin terisak.
Diztha meninggalkan mereka begitu saja. Ia berjalan ke dalam kamar Valent lagi, mengambil tasnya lalu sebelum melanjutkan langkah ke arah pintu keluar rumah Valent, ia berkata, “Sorry Nov... gue nggak tau harus gimana hadepin ini. gue ngrasa posisi gue dimanfaatin sama calon suami lo. tapi jujur, Valent sayang banget sama lo... dia sangat amat bersedia merit sama lo. lo jangan takut dia bukan seorang suami yang baik. Kejadian ini cuman bentuk kekhawatiran Valent melepas masa lajangnya aja. Dia pengin berbagi sama gue dan gue pikir, itu nggak salah. Jadi, dalam hal ini nggak ada yang salah menurut gue. Sorry, gue harus pergi.”
Valent mengerutkan alis.
“Thanks. Tapi nggak mudah buat Novita bisa menerima ini,” ujar Valent.
“Itu urusan lo, Val. Udah gue bilang dari awal, lo nggak nurut sama gue. Terserah. I have still many things to do.”
Diztha pergi begitu saja. Novita masih terisak. sekarang bertambah dalam. Novita pindah tempat. Ia berjalan ke ruang tengah depan kamar Valent lalu duduk di sofa panjang depan teve.
Valent memerhatikannya dari jauh. Tak cepat mengikuti langkah Novita agar bisa duduk-duduk berdua di sana. Ia bingung, tak tahu harus mulai bicara dari mana. Akhirnya, ia memutuskan untuk jangan dulu mengajak Novita bicara dan berusaha memberinya waktu untuk tenang lebih dulu. Lalu ia masuk ke dalam kamar lagi. Entah apa yang dilakukannya di dalam, ia hanya ingin Novita bisa tenang dulu.
Novita masih menangis, tapi tak sedalam tadi. Sekarang ia terlihat lebih tenang. Sambil membuka-buka ponselnya, ia juga sudah mengusap lembut air matanya yang tengah kering.
Beberapa menit kemudian Valent keluar kamar. Ia memberanikan diri mendekati Novita. Ia duduk di samping Novita yang sedang mengetik sebuah pesan dalam ponselnya.
“Nov...” panggil Valent perlahan.
Novita masih sibuk dengan ponselnya.
“Nov...” ulangnya.
Novita mendongak. Sekarang sedang melihat dalam ke kedua mata Valent. Valent balas menatapnya, namun lidahnya masih terasa kelu hingga sulit sekali untuk berkata perkataan yang ia ingin katakan itu.
Novita menarik napas panjang lagi. Air matanya telah kering dan sekarang telah siap untuk mengatakan sesuatu kepada Valent.
“Aku nggak ngerti, Val...” ucap Novita dengan sangat lembut, “tiga bulan itu bukan waktu yang lama. Tiga bulan lagi kita akan menikah...”
Valent mendesah berat.
“Aku tahu, Nov...”
“Kamu tahu apa?”
“Aku tahu aku salah.” Valent mengutuk dirinya sendiri. Sangat bodoh, pikirnya.
“Kenapa Diztha bisa ada di sini?” tanya Novita pelan. Emosinya sudah stabil dan berusaha membuat suasana panas itu menjadi biasa saja.
“Aku dan dia baru aja saling janji setelah ini nggak akan saling peduli lagi ke kehidupan masing-masing. Perlu ada penegasan buat dia sebagai mantan aku. Karena itu, aku butuh waktu khusus buat menegaskan itu ke dia. Waktunya itu tepat hari ini, yang tepat juga kamu dateng ke sini.”
“Kenapa harus dibicarakan di dalam kamar?”
Wajah Valent memerah. Ia tahu, hal ini sangat sulit untuk dijelaskan kepada Novita.
“Diztha ngambil benda-benda miliknya yang sempat tersimpan di kamar aku,” jawab Valent singkat.
Novita mendesah berat.
“Aku marah banget sama kamu.”
Valent memejamkan matanya sejenak sembari menarik napas dalam lalu menghembuskannya lagi.
Tiba-tiba Novita menangis sesegukan. Sementara Valent, masih terdiam terpaku di tempatnya. Masih sama, tanpa sepatah-kata pun.
Tapi kemudian Novita mengumpulkan keberaniannya untuk berkata lebih tegas lagi kepada Valent. Walaupun air matanya masih menetes begitu saja, ia berusaha sekuat mungkin menahan diri untuk tidak menangis hebat lagi. Tak boleh cengeng, katanya dalam hati.
“Aku bisa membatalkan semua rencana pernikahan kita kalo kamu memang terpaksa menikah sama aku. Seandainya kejadian ini terjadi sebelum aku menentukan gedung, catering, baju, bahkan tanggal pernikahan, aku bakal batalin semuanya, Val. Aku lebih mengutamakan perasaan daripada semua itu. kalo kamu belum bisa melepas dia, silakan menikah dengannya. aku nggak bisa maksain karena kamu lebih tahu gimana semenggebunya keluarga kita untuk menyatukan kita berdua,” ucap Novita sangat jelas. Suaranya tak separau tadi walaupun sekarang air matanya lebih banyak bercucuran.
Valent terlihat agak gusar namun masih menunjukkan wajah tenang.
“Nggak segampang itu, Nov. Aku nggak akan setuju sampai kapanpun seandainya kamu membatalkan pernikahan hanya karena gara-gara perasaan aku ke mantan aku. Something stupid. Aku udah nggak sebegitunya sama dia, bahkan kamu itu udah segalanya buat aku. Aku pikir, ini bukan sebuah masalah untuk kita.”
“If I were everything for you, why wouldn’t you tell me about this before?”
“Rencananya malem ini aku ke rumah kamu. Aku mau membicarakan semuanya, semua-muanya. Dari mulai akad nikah maunya gimana, prosedur resepsi pernikahan, mau pake adat Batak atau Jawa, enaknya seperti apa, tambahan para undangan buat temen-temen aku di luar. Aku mau bahas itu semua.”
Novita berpikir sejenak, perasaan masalah itu udah dibahas semua, deh.
“Nggak bahas Diztha?” tanyanya.
“She’s not our topic. Belakangan ini, aku sangat mempersiapkan pernikahan dan tentu masa depan kita. Kamu salah besar kalo kehadiran Diztha tadi dianggap jadi tempat pelampiasan aku.”
Novita sempat tersentak. Ia tak menyangka Valent akan berkata seperti itu.
“That’s it,” tambah Valent.
Novita masih belum meresponnya.
“Aku mau pulang sekarang. Aku butuh waktu buat berpikir. Maaf...” Novita merapikan diri ingin cepat pulang sekarang. Valent tidak mencegahnya.
“Aku juga butuh waktu buat ngomong sama kamu...”
Novita hanya mengangguk pelan dan berjalan keluar rumah. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya.
“Oya, tadi pagi aku bikin brownies. Itu... aku taruh di sofa.”
“Ok. Makasih...” balas Valent dengan senyuman sambil mengiringi langkah Novita menuju pintu.
Novita hanya memperlihatkan ekspresi datar lalu ia segera beranjak dari rumah Valent.
Setelah bayangan Novita hilang dari hadapannya, yang hanya menyisakan kepulan knalpot saja, Valent kembali masuk ke dalam. Valent kembali duduk terdiam di sofa panjang depan teve tadi. Matanya menerawang ke depan, sedikit memikirkan kejadian tadi, namun sangat ia usahakan untuk membuat semuanya kembali normal.
Tangannya meraih sesuatu dari dalam saku jeansnya lalu jari-jarinya mendial beberapa angka yang sangat ia hapal itu. Tak lama kemudian ada respon di sana.
“Apalagi...?” sapa seseorang di seberang dengan awal kalimat sebuah pertanyaan.
“Sorry... gue nggak tahu Novita dateng ke rumah,” ujar Valent agak sedikit gugup.
“Udah laaah... gue capek, Val! Jangan sangkut-pautin diri gue sama masalah lo dan Novita. Plis! Gue udah nggak mau tahu lagi.”
“Gue cuman pengin... gue akhirin hubungan gue sama lo dengan baek-baek, Diz, karena gue juga ngawalin hubungan gue dengan baek-baek juga. Di saat gue memulai kehidupan gue yang baru bersama Novita, gue pengin kehidupan lama gue tak menyisakan penyesalan buat gue dan salah satu caranya, lo mau dengerin semua yang pengin gue ungkapin. Tapi ternyata nggak semulus itu apa yang udah gue rencanain.”
“Plis, Val...! kalo lo masih berharap gue bisa dengerin lo, lo masih ngasih kesempatan gue buat menikmati waktu sama lo. Udah laah... udah aja... gue capek, Val!!!”
“Maafin gue, Diz...”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan dan meminta maaf...”
“Plis Diz... kasih gue kesempatan buat ketemu lo sekali lagi. Plisss!!!”
“Nggak bisa.”
“Diz, cuman cara itu yang bisa bikin gue tenang sebelum gue menikah.”
“Terserah lo, Val!”
"Just to make sure that you are okay."
"Terserah!"
"Gue nggak bisa bayangin idup gue gimana kalo sebelum merit gue ngrasa bersalah sama lo. Plis, kasih gue kesempatan."
"Terserah! Gue bilang, itu semua terserah lo."
“Ok. Gue dateng ke tempat lo jam sepuluh malem nanti. Thanks.”
Klik. Telponpun terputus.
sumber
lupa lagi, comment ya klo tau